Selasa, 11 Desember 2012

Semangkuk rempah-rempah romantika hidup


“Nak, mulai besok kalian tidak usah sekolah lagi ya? Bapak sudah tidak punya uang untuk biaya sekolah kalian…” suara parau itu pun akhirnya keluar juga. Sebenarnya, lelaki itu tak pernah sanggup untuk mengungkapkannya. Selama hampir empat bulan kalimat itu selalu dijaganya, namun hati dan pikirannya sudah tak mampu lagi menampung semua beban itu. Dan nyatanya, memang ia tak lagi sanggup. Sementara disudut ruangan sempit berdinding batako tak berplester itu, ibu keempat anak itu tertunduk menahan gelembung di sudut mata yang mendesak-desak.

Di balik dinding rumah lainnya,
Seorang ibu yang telah lama ditinggal suaminya terpaksa menyuruh tidur tiga anaknya lebih dini. Usai sholat isya', semua anak-anaknya yang masih kecil dipaksa tidur agar bisa melupakan lapar yang dirasanya.
Sejak suaminya meninggal dunia setahun lalu, ia memeras keringat sendirian membesarkan tiga anaknya dengan bekerja sebagai tukang cuci di beberapa rumah tetangganya. Jangankan untuk bisa bersekolah, penghasilannya sangatlah tidak mencukupi bahkan untuk makan sehari-hari. Sehingga dengan sangat terpaksa ia mengatur jadwal makan ia dan ketiga anaknya hanya sehari sekali. Setiap pagi anak-anaknya hanya diberi air putih. Memasuki siang hari barulah mereka melahap nasi dengan lauk seadanya.
Setiap menjelang maghrib, ibu tiga anak itu harus menjerit dalam hati mendengar perih kesakitan anak-anaknya yang menahan lapar. Ia hanya mampu berkata, “sabar nak…” untuk menenangkan anak-anaknya. Dan memang tidak pernah ada yang bisa disantap lagi hingga besok pagi.

Di sebuah kamar tidur di rumah yang lain lagi,
Seorang suami mendekati istrinya perlahan dan penuh hati-hati. Ia bertanya, “apakah anak-anak sudah tidur?” “sudah” jawab sang istri.
Lalu, “bagaimana mungkin mereka bisa tidur dengan perut lapar setelah seharian tidak makan?” tanya sang suami lagi.
“Ibu janjikan akan ada makan enak besok pagi saat mereka bangun, maka mereka pun segera tidur” jelas istrinya.
Setiap malam, dialog itu terus berlangsung. Dan setiap pagi, tidak pernah ada makanan enak seperti yang dijanjikan sang ibu kepada anak-anaknya. Sungguh, boleh jadi di pagi-pagi yang akan datang, akan ada satu-dua anak dari keluarga itu yang tak pernah lagi terbangun lantaran kelaparan.

Sementara di sebuah rumah kontrakan,
Seorang istri berkata kepada suaminya, “pak, besok saya malu keluar rumah. Takut ketemu Pak Sofyan pemilik kontrakan ini. Kita sudah lima bulan tidak membayar kontrakan. Dan sebenarnya Pak Sofyan sudah mengusir kita”.
Sang suami hanya mampu menghela nafas panjang. Sungguh, jika bisa ia tak ingin kalimat itu keluar dari mulut isterinya. Jika pun mampu, ia tak mau membuat istri tercintanya malu bergaul bersama para tetangga lantaran terlalu banyak sudah hutang-hutang mereka yang belum sanggup terbayar.

Lagi, di sebuah ruang keluarga rumah yang lainnya,
Seorang bapak membawa sejumlah uang cukup banyak dan bungkusan makanan yang nikmat untuk istri dan anak-anaknya. Inginnya ia berteriak sekeras-kerasnya saat istri dan anak-anaknya tertawa bahagia menyambut bingkisan yang dibawanya. Tetapi ia pun tak ingin membuyarkan kegembiraan di ruang keluarga itu.
Saking bahagianya, sang istri terlupa bertanya dari mana suaminya mendapatkan uang segitu banyak dan bisa membeli makanan enak. Sehingga setelah larut dan setelah semua anak-anaknya terlelap, teringatlah sang istri bertanya. Apa jawab sang suami? “Siang tadi bapak terpaksa mencopet…”

***
Sungguh teramat banyak hal yang membuat hati ini lebih bergemuruh jika saja kita mau mendekat, melihat dan mendengarnya dari balik dinding-dinding rumah saudara-saudara kita. Lihat di sekitar kita, banyak suara-suara yang tak sanggup telinga ini mendengarnya, banyak tangis yang mengiris-iris hati, dan banyak pemandangan yang membuat terenyuh. Sayangnya, kita sering terlupa melihat dan mendekat.

Poem of Rumisme


One day You will take my heart completely
and make it more fiery than a dragon.
Your eyelashes will write on my heart the poem
that could never come from the pen of a poet.

I've been looking for a long,
long time,for this thing called love,
I’ve ridden comets across the sky,
and I’ve looked below and above.
Then one day I looked inside myself,
and this is what I found,
A golden sun residing there,
beaming forth God’s light and sound.

si Anak Senja


Kepala ini,,
Serasa tumbuh uban-uban
Meski petang belum memupuk senja
Pada helai-helai rambut yang masih pagi
Mentari menyuburkan terik di keningku

Lalu wajah ini memucati putihnya hari
Mempias hujan yang ingin mengalirkan anak-anak sungai di mata
Dan ubun-ubun membiaskan tangis ibu yang teduh
Pada kemarau yang membakar sisa-sisa ingatan

Meski sepi tak mampu mengusir sisa-sisa semangat riang
Anak senja tetap istimewa pun dengan simpul polosnya
Terngiang jelas setiap inci pelukan hangat
Anak senja tersenyum lelap di dalam selimut emas
Lalu kini kembali, menagih rindu-rindunya kepada pencipta

Sungguh si anak senjaPergi tak kembaliNamun kerlingannya rapih di sanubariSebab, hidup masihlah terbit di mata hatiDan fajar, tetap setia menghitamkan rambut di kepala

Dalam Sujudku



Aku bersujud,,,
tak lepas kening dari sajadah
entah berapa banyak
air mata yang mengalir membasuhnya

Aku bersujud,,,
mengadukan segala resah gundahku
menghilangkan rasa benci bathinku
agar lapang hati ini ketika sajadah terlipat

Aku bersujud,,,
memangil namamu dalam dzikir yang panjang
dalam setiap helaan napasku
dalam setiap denyut nadiku

Aku bersujud lagi, berdoa lagi,dalam setiap aliran darahkudalam setiap langkahkudalam setiap pikirku.