“Nak, mulai besok kalian
tidak usah sekolah lagi ya? Bapak sudah tidak punya uang untuk biaya sekolah
kalian…” suara parau itu pun akhirnya
keluar juga. Sebenarnya, lelaki itu tak pernah sanggup untuk mengungkapkannya.
Selama hampir empat bulan kalimat itu selalu dijaganya, namun hati dan
pikirannya sudah tak mampu lagi menampung semua beban itu. Dan nyatanya, memang
ia tak lagi sanggup. Sementara disudut ruangan sempit berdinding batako tak
berplester itu, ibu keempat anak itu tertunduk menahan gelembung di sudut mata
yang mendesak-desak.
Di balik dinding rumah
lainnya,
Seorang ibu yang telah lama
ditinggal suaminya terpaksa menyuruh tidur tiga anaknya lebih dini. Usai sholat
isya', semua anak-anaknya yang masih kecil dipaksa tidur agar bisa melupakan
lapar yang dirasanya.
Sejak suaminya meninggal
dunia setahun lalu, ia memeras keringat sendirian membesarkan tiga anaknya
dengan bekerja sebagai tukang cuci di beberapa rumah tetangganya. Jangankan
untuk bisa bersekolah, penghasilannya sangatlah tidak mencukupi bahkan untuk
makan sehari-hari. Sehingga dengan sangat terpaksa ia mengatur jadwal makan ia
dan ketiga anaknya hanya sehari sekali. Setiap pagi anak-anaknya hanya diberi
air putih. Memasuki siang hari barulah mereka melahap nasi dengan lauk
seadanya.
Setiap menjelang maghrib,
ibu tiga anak itu harus menjerit dalam hati mendengar perih kesakitan
anak-anaknya yang menahan lapar. Ia hanya mampu berkata, “sabar nak…” untuk
menenangkan anak-anaknya. Dan memang tidak pernah ada yang bisa disantap lagi
hingga besok pagi.
Di sebuah kamar tidur di
rumah yang lain lagi,
Seorang suami mendekati
istrinya perlahan dan penuh hati-hati. Ia bertanya, “apakah anak-anak sudah
tidur?” “sudah” jawab sang istri.
Lalu, “bagaimana mungkin
mereka bisa tidur dengan perut lapar setelah seharian tidak makan?” tanya sang
suami lagi.
“Ibu janjikan akan ada makan
enak besok pagi saat mereka bangun, maka mereka pun segera tidur” jelas
istrinya.
Setiap malam, dialog itu
terus berlangsung. Dan setiap pagi, tidak pernah ada makanan enak seperti yang
dijanjikan sang ibu kepada anak-anaknya. Sungguh, boleh jadi di pagi-pagi yang
akan datang, akan ada satu-dua anak dari keluarga itu yang tak pernah lagi
terbangun lantaran kelaparan.
Sementara di sebuah rumah
kontrakan,
Seorang istri berkata
kepada suaminya, “pak, besok saya malu keluar rumah. Takut ketemu Pak Sofyan
pemilik kontrakan ini. Kita sudah lima bulan tidak membayar kontrakan. Dan
sebenarnya Pak Sofyan sudah mengusir kita”.
Sang suami hanya mampu
menghela nafas panjang. Sungguh, jika bisa ia tak ingin kalimat itu keluar dari
mulut isterinya. Jika pun mampu, ia tak mau membuat istri tercintanya malu
bergaul bersama para tetangga lantaran terlalu banyak sudah hutang-hutang
mereka yang belum sanggup terbayar.
Lagi, di sebuah ruang
keluarga rumah yang lainnya,
Seorang bapak membawa
sejumlah uang cukup banyak dan bungkusan makanan yang nikmat untuk istri dan
anak-anaknya. Inginnya ia berteriak sekeras-kerasnya saat istri dan
anak-anaknya tertawa bahagia menyambut bingkisan yang dibawanya. Tetapi ia pun
tak ingin membuyarkan kegembiraan di ruang keluarga itu.
Saking bahagianya, sang
istri terlupa bertanya dari mana suaminya mendapatkan uang segitu banyak dan
bisa membeli makanan enak. Sehingga setelah larut dan setelah semua
anak-anaknya terlelap, teringatlah sang istri bertanya. Apa jawab sang suami?
“Siang tadi bapak terpaksa mencopet…”
***
Sungguh teramat banyak hal yang membuat hati ini lebih bergemuruh jika saja kita mau mendekat, melihat dan mendengarnya dari balik dinding-dinding rumah saudara-saudara kita. Lihat di sekitar kita, banyak suara-suara yang tak sanggup telinga ini mendengarnya, banyak tangis yang mengiris-iris hati, dan banyak pemandangan yang membuat terenyuh. Sayangnya, kita sering terlupa melihat dan mendekat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar